Bismillah.
Nasionalisme
terbukti menjadi senjata yang efektif melemahkan kaum Muslim. Satu kefahaman
yang menjadikan kepentingan bangsa (nation) di atas segalanya ini dengan berjaya
telah memecah belah kaum Muslim dan menghilangkan kepedulian umat Islam sebagai
satu tubuh. Umat Islam yang sebelumnya bersatu atas dasar akidah Islam di bawah
naungan Negara Khilafah Islam kemudian berserakan menjadi negara-negera lemah.
Tanpa pengikat.
Saat
umat Islam masih memiliki Khilafah, negara ‘super power’ Khilafah ini berhasil
menyatukan negeri-negeri Islam di berbagai kawasan dunia, tanpa melihat bangsa,
warna kulit, ataupun ras. Kekuasaan Daulah Khilafah Islam menyebar mulai dari
jazirah Arab, Persia, India, Kaukasus, hingga mencapai perbatasan Cina dan
Rusia. Membebaskan Syam bagian utara, Mesir, Afrika utara, Spanyol, Anatolia,
Balkan, Eropa selatan dan timur, hingga di gerbang Wina di Austria.
Menyatukan
berbagai kawasan dengan berbagai ras, suku, dan warna kulit seperti semetik (Arab,
Syriani, Kaldean), Hamitik (Mesir, Nubia, Berber dan Sudan); Aria (Parsia,
Yunani, Spanyol dan India), Tourani (Turki dan Tartar). Dengan wilayah yang
demikian luas, yang terintegrasi dengan baik berdasarkan akidah Islam, Khilafah
menjadi negara super power yang ditakuti oleh musuh dan disegani oleh kawan.
Nasionalisme
juga berjaya memperlemah kekuatan kaum Muslimin dengan mematikan kehirauan dan
kepedulian sebagai satu tubuh dan satu umat. Satu umat yang harus saling
menolong dan saling memperkuat. Dengan alasan bukan kepentingan nasional
(national interest) kita, dengan alasan bukan urusan negara kita, negara
seperti Arab Saudi, Mesir, tidak melakukan tindakan yang sepatutnya ketika Gaza
diperangi Zionis Israel.
Ketika
Irak dijatuhi bom yang membunuh ratusan ribu umat Islam, Saudi dan
negara-negara Teluk malah memberikan bagian wilayah negara itu sebagai
pangkalan tentera untuk penjajah Amerika dan sekutunya, alasannya demi
kepentingan nasional. Ketika umat Islam di Sudan, Ethopia, dan negeri-negeri Afrika
lain kelaparan. Elite-elite negara-negara Teluk yang kaya minyak nyaris tidak
peduli. Mereka lebih disibukkan membangun gedung pencakar langit, membeli kelab
bola sepak atau belanja barang mewah di luar negeri.
Nasionalisme
ini pulalah yang menyekat-nyekat negeri Islam. Dengan alasan beza negara dan beza
bangsa, dan beza kepentingan, tentara-tentara negeri Islam lumpuh untuk
digerakkan membebaskan negeri-negeri Islam yang terjajah. Selalu yang menjadi
alasan harus di bawah payung PBB, baru boleh digerakkan. Padahal PBB, merupakan
organisasi penjajah Barat yang tidak pernah membela umat Islam. Sementara di
depan tentara-tentara umat itu, kaum Muslim dibunuh dan dibantai.
Ketiadaan
persatuan dan kehilangan kepedulian terhadap nasib umat Islam merupakan buah
nasionalisme. Ini pula yang menyebabkan kaum Muslim Rohingya menderita
kepanjangan tanpa ada yang menyelamatkan. Padahal negeri Muslim Arakan ini
dikelilingi negeri-negeri Islam seperti Indonesia, Malaysia, dan Brunei.
Pemerintah Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta juga tidak
melakukan tindakan yang serius untuk menghentikan pembantaian ini.
Kita
perlu ingatkan kembali, sesungguhnya umat Islam merupakan umat yang satu
(ummatan wahidah). Rasulullah SAW menggambarkan umat Islam sebagai satu tubuh,
sehingga kalau ada satu bagian tubuh umat yang sakit dirasakan sebagai rasa
sakit yang sama. Derita Muslim Rohingya adalah derita kita. Tangis anak-anak
yatim dan janda-janda akibat kekejaman rezim Myanmar adalah tangis kita juga.
Sesungguhnya
umat Islam memiliki puluhan juta tentara dengan persenjataan yang lengkap.
Negeri Islam juga memiliki ratusan juta penduduk yang siap membantu para
tentara membebaskan negeri-negeri Islam itu. Siap melaksanakan perintah Allah
SWT untuk jihad fi sabilillah, merindukan mati syahid membebaskan negeri Islam.
Yang tidak dimiliki umat Islam sekarang adalah negara Khilafah yang
menggerakkan dan memberikan arahan terhadap tentera-tentera itu.
Kita
memerlukan Khalifah yang membuat keputusan politik dengan mengirimkan tentara
menyelamatkan negeri Islam. Tanpa dibatasi oleh kebangsaan, warna kulit, atau
ras. Tanpa menunggu perintah PBB yang menjadi alat penjajah Barat. Bergerak
karena disatukan oleh akidah Islam dan perintah Allah SWT untuk berjihad. Dengan
Khilafah, musuh-musuh Allah tidak akan memandang remeh umat Islam seperti
sekarang. Umat dibantai, bahkan oleh negara-negara lemah dan miskin seperti
Myanmar.
Siapapun
yang melakukan pembunuhan terhadap umat Islam—meskipun satu orang—akan
berhadapan dengan negara Khilafah yang kuat. Inilah yang dilakukan oleh
Khalifah al Mu’tashim ketika mendengar seruan minta tolong dari seorang
Muslimah yang dinodai kehormatannya oleh tentara Romawi. Al-Qalqasyandi, dalam
kitabnya, Ma’atsiru al-Inafah, menjelaskan salah satu sebab penaklukan kota Amuriyah
pada 17 Ramadhan 223 H. Diceritakan, penguasa Amuriyah, salah seorang Raja
Romawi, telah menawan wanita mulia keturunan Fathimah -Radhiyallahu ‘anha.
Wanita itu disiksa, lalu berteriak, “Wahai Mu’tashim!” Raja Romawi pun berkata
kepadanya, “Tidak akan ada yang membebaskanmu, kecuali menaiki bebarapa balaq
(kuda yang mempunyai warna hitam-putih).”
Jeritan
itu pun sampai kepada Khalifah al-Mu’tashim. Lalu dia memimpin pasukannya untuk
mengendarai kuda balaq. Dia pun keluar, memimpin di depan pasukannya, dengan
4.000 balaq, tiba di Amuriyah dan menaklukkannya. Dia membebaskan wanita mulia
tersebut, dan berkata, “Jadilah saksi untukku di depan datukmu (Nabi Muhammad
SAW), bahwa aku telah datang untuk membebaskanmu. Dengan memimpin pasukanku,
yang terdiri dari 4.000 balaq.” Dengan tentara itu, kota Amuriyah ditaklukkan,
kehormatan seorang Muslimah dibela, ribuan tentara Romawi dibunuh dan ditawan.
Allahu Akbar!
0 kata-kata indah:
Post a Comment
terima kasih sebab sudi komen di entri ini,
sila datang lagi untuk memberi komen.
(^o^)